Banyuwangi dikenal sebagai daerah pemilik garis pantai cukup panjang. Kota ini juga memiliki berbagai tradisi. Tradisi-tradisi tersebut masih hidup dan berkembang hingga sekarang. Salah satu contohnya adalah Petik Laut Muncar yang sudah mengakar di jiwa masyarakat Banyuwangi.

Tradisi ini biasa dilakukan pada bulan Muharram atau sura dalam penanggalan Jawa. Masyarakat Banyuwangi menyelenggarakannya setiap tahun. Tradisi ini bertujuan sebagai ucapan syukur atas nikmat hasil dari melaut. Selain itu, tradisi ini juga bertujuan untuk menolak bala.

Apa itu Tradisi Petik Laut Muncar?

Muncar merupakan sebuah tempat di Banyuwangi yang dekat dengan pantai. Mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan. Muncar menjelma pelabuhan bagi para nelayan dari berbagai daerah, seperti Lombok, Bali, Madura, Jawa, dan lain sebagainya. Bahkan, Muncar menjadi salah satu tempat yang menghasilkan ikan terbesar di Indonesia.

Masyarakat Muncar menggantungkan hidup dari laut. Sebab itu, mereka menyelenggarakan Petik Laut sebagai rasa terimakasih kepada laut yang telah memberi mereka kebutuhan hidup. Ritual ini digelar ketika bulan purnama karena saat itu terjadi pasang dan masyarakat tidak melaut.

Tradisi ini mulai berkembang sejak kedatangan warga Madura. Hal ini tampak dalam ornamen suku Madura yang terdapat di Ritual Petik Laut. Salah satunya adalah seragam Sakera. Pakaian tersebut berwujud baju hitam dengan sebilah celurit, lambang dari warga Madura.

Dalam ritual Petik Laut Muncar, seragam Sakera digunakan oleh pasukan berbadan besar yang bertugas mengawal jalannya ritual. Mereka menjaga kemananan sesaji ketika diarak menuju tengah laut. Selain itu, Sakera bertugas membatasi dan mengatur masyarakat yang hendak menaiki perahu.

Anda harus berhadapan dengan Sakera jika ingin menaiki perahu pembawa sesaji. Sebab, penumpang perahu harus dibatasi, disesuaikan dengan kapasitas perahu. Jika gagal naik perahu utama, Anda dapat naik perahu nelayan. Banyak perahu nelayan ikut mengiringi arakan sesaji.

Prosesi Ritual Petik Laut Muncar

Ritual dimulai dengan menyiapkan sesaji utama berupa kepala kambing kendit, yakni kambing dengan kepala berwarna hitam sementara badannya berwarna putih. Selain itu, disiapkan juga sesaji lain seperti pancing emas, ayam jantan hidup, kemenyan berisi kapur, sirih, tembakau, pisang raja, aneka jajanan pasar, aneka buah-buahan, sayur-sayuran, umbi-umbian, bunga-bungaan dan lain sebagainya.

Sesaji kemudian ditata rapi di sebuah githik, yakni perahu kecil berukuran 5 meter. Perahu ini dibuat khusus untuk ritual. Masyarakat bersama seorang pawang melakukan doa bersama sebelum mengarak githik mengelilingi kampung menuju Pantai Muncar. Sekelompok gandrung memainkan alat musik untuk mengiringi arak-arakan ini.

Sesaji kemudian diangkut ke sebuah perahu yang lebih besar untuk dibawa ke tengah laut. Para nelayan ikut mengarak sesaji dengan menaiki perahu masing-masing. Githik dan kapal nelayan sebelumnya telah dihias dengan cat warna warni dan umbul-umbul cantik.

Sesaji dilarungkan di dekat Semenanjung Sembulungan yang memiliki perairan tenang oleh sang pawang. Masyarakat berlomba menjatuhkan diri ke laut untuk mengais sesaji yang telah tersebar. Mereka percaya, sesaji tersebut membawa berkah dan bisa menolak bala.

Iring-iringan perahu yang mengarak sesaji kemudian menuju ke pantai Sembulungan. Tujuannya untuk berziarah ke makam Sayyid Yusuf, tokoh pembuka pertama daerah tersebut. Di pantai ini dipentaskan tari Gandrung dan Gending Using sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur. Ritual ditutup dengan doa bersama.

Ritual Petik Laut merupakan tradisi tahunan yang harus senantiasa dilestarikan. Pelarungan sesaji menandakan rasa terima kasih manusia atas limpahan rezeki dari laut. Anda dapat mengikuti ritual ini untuk menambah rasa syukur kepada alam yang telah membantu kehidupan. (*)